Reaksi Transfusi Darah
17 Mar
Transfusi darah masif jarang dilakukan,
lebih-lebih sebab permintaan darah hampir selalu tersendat-sendat. Kalau
terjadi perdarahan banyak dan persediaan darah kurang, yang diberikan ialah
cairan pengganti darah.
Kadang-kadang transfusi darah masif dapat
dilakukan sebab persediaan darah cukup dan kadang-kadang donor juga cukup
banyak. Seandainya persediaan darah cukup, maka pemberian suatu transfusi masif
bukan tanpa risiko untuk terjadinya macam-macam komplikasi, sehingga diperlakukan
alat tambahan untuk memudahkan kita memantau selama pemberian transfusi masif
tersebut. Alat tambahan tersebut antara lain ialah EKG, analisis gas darah, dan
CVP.
Selain risiko, penyediaan alat-alat dan
pemeriksaan analisis gas darah yang berulang merupakan beban biaya tambahan
bagi penderita.
DEFINISI
Transfusi darah masif adalah pemberian darah
dengan kecepatan lebih dari 30 ml/kg BB/jam ( 2 ), atau dapat juga dikatakan
pemberian darah secara mendadak lebih dari 1,50 kali perkiraan jumlah darah penderita
(5, 8).
KEGUNAAN
Transfusi darah disini digunakan untuk :
1. Memperbaiki kapasitas pengangkutan
oksigen.
2. Mempertahankan volume darah (1, 8).
KOMPLIKASI
TRANSFUSI DARAH
Pada umumnya komplikasi transfusi ini dibagi
menjadi :
I. Reaksi imunologi
II. Reaksi non imunologi
III. Komplikasi yang berhubungan dengan
transfusi darah masif.
I. REAKSI IMUNOLOGI
A. REAKSI TRANSFUSI HEMOLITIK
Reaksi transfusi hemolitik merupakan reaksi
yang jarang terjadi tetapi serius dan terdapat pada satu diantara dua puluh
ribu penderita yang mendapat transfusi (8).
1. Lisis sel darah donor oleh antibodi
resipien.
Hal ini bisa terjadi dengan cara :
a. Reaksi transfusi hemolitik segera
b. Reaksi transfusi hemolitik lambat.
2. Lisis sel resipien oleh antibodi darah
transfusi secara masif.
Reaksi ini sering terjadi akibat kesalahan
manusia sebagai pelaksana, misalnya salah memasang label atau membaca label
pada botol darah.
Tanda-tanda reaksi hemolitik lain ialah
menggigil, panas, kemerahan pada muka, bendungan vena leher , nyeri kepala,
nyeri dada, mual, muntah, nafas cepat dan dangkal, takhikardi, hipotensi,
hemoglobinuri, oliguri, perdarahan yang tidak bisa diterangkan asalnya, dan
ikterus. Pada penderita yang teranestesi hal ini sukar untuk dideteksi dan
memerlukan perhatian khusus dari ahli anestesi, ahli bedah dan lain-lain.
Tanda-tanda yang dapat dikenal ialah
takhikardi, hemoglobinuri, hipotensi, perdarahan yang tiba-tiba meningkat,
selanjutnya terjadi ikterus dan oliguri.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan adanya
hemoglobinemi dan hemoglobinuri. Urine menjadi coklat kehitaman sampai hitam
dan mungkin berisi hemoglobin dan butir darah merah. (8).
Terapi reaksi transfusi hemolitik :
pemberian cairan intravena dan diuretika. Cairan digunakan untuk mempertahankan
jumlah urine yang keluar.
Transfusi darah masif jarang dilakukan,
lebih-lebih sebab permintaan darah hampir selalu tersendat-sendat. Kalau
terjadi perdarahan banyak dan persediaan darah kurang, yang diberikan ialah
cairan pengganti darah.
Kadang-kadang transfusi darah masif dapat
dilakukan sebab persediaan darah cukup dan kadang-kadang donor juga cukup
banyak. Seandainya persediaan darah cukup, maka pemberian suatu transfusi masif
bukan tanpa risiko untuk terjadinya macam-macam komplikasi, sehingga
diperlakukan alat tambahan untuk memudahkan kita memantau selama pemberian
transfusi masif tersebut. Alat tambahan tersebut antara lain ialah EKG,
analisis gas darah, dan CVP.
Selain risiko, penyediaan alat-alat dan
pemeriksaan analisis gas darah yang berulang merupakan beban biaya tambahan
bagi penderita.
DEFINISI
Transfusi darah masif adalah pemberian darah
dengan kecepatan lebih dari 30 ml/kg BB/jam ( 2 ), atau dapat juga dikatakan
pemberian darah secara mendadak lebih dari 1,50 kali perkiraan jumlah darah
penderita (5, 8).
KEGUNAAN
Transfusi darah disini digunakan untuk :
1. Memperbaiki kapasitas pengangkutan
oksigen.
2. Mempertahankan volume darah (1, 8).
KOMPLIKASI TRANSFUSI DARAH
Pada umumnya komplikasi transfusi ini dibagi
menjadi :
I. Reaksi imunologi
II. Reaksi non imunologi
III. Komplikasi yang berhubungan dengan
transfusi darah masif.
I. REAKSI IMUNOLOGI
A. REAKSI TRANSFUSI HEMOLITIK
Reaksi transfusi hemolitik merupakan reaksi
yang jarang terjadi tetapi serius dan terdapat pada satu diantara dua puluh
ribu penderita yang mendapat transfusi (8).
1. Lisis sel darah donor oleh antibodi
resipien.
Hal ini bisa terjadi dengan cara :
a. Reaksi transfusi hemolitik segera
b. Reaksi transfusi hemolitik lambat.
2. Lisis sel resipien oleh antibodi darah
transfusi secara masif.
Reaksi ini sering terjadi akibat kesalahan
manusia sebagai pelaksana, misalnya salah memasang label atau membaca label
pada botol darah.
Tanda-tanda reaksi hemolitik lain ialah
menggigil, panas, kemerahan pada muka, bendungan vena leher , nyeri kepala, nyeri
dada, mual, muntah, nafas cepat dan dangkal, takhikardi, hipotensi,
hemoglobinuri, oliguri, perdarahan yang tidak bisa diterangkan asalnya, dan
ikterus. Pada penderita yang teranestesi hal ini sukar untuk dideteksi dan
memerlukan perhatian khusus dari ahli anestesi, ahli bedah dan lain-lain.
Tanda-tanda yang dapat dikenal ialah
takhikardi, hemoglobinuri, hipotensi, perdarahan yang tiba-tiba meningkat,
selanjutnya terjadi ikterus dan oliguri.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan adanya
hemoglobinemi dan hemoglobinuri. Urine menjadi coklat kehitaman sampai hitam
dan mungkin berisi hemoglobin dan butir darah merah. (8).
Terapi reaksi transfusi hemolitik :
pemberian cairan intravena dan diuretika. Cairan digunakan untuk mempertahankan
jumlah urine yang keluar. Diuretika yang digunakan ialah :
a. Manitol 25 %, sebanyak 25 gr diberikan
secara intravena kemudian diikuti pemberian 40 mEq Natrium bikarbonat.
b. Furosemid
Bila terjadi hipotensi penderita dapat
diberi larutan Ringer laktat, albumin dan darah yang cocok. Bila volume darah
sudah mencapai normal penderita dapat diberi vasopressor. Selain itu penderita
perlu diberi oksigen.
Bila terjadi anuria yang menetap perlu
tindakan dialisis (8).
Cara menghindari reaksi transfusi :
Untuk mengerjakan ini perlu dilakukan :
a. Tes darah, untuk melihat cocok tidaknya
darah donor dan resipien.
b. Memilih tips dan saringan yang tepat.
c. Pada transfusi darurat :
Banyak situasi terjadi dimana kebutuhan
darah sangat mendesak sebelum dilakukan pemeriksaan cocok tidaknya darah secara
lengkap. Dalam situasi demikian tidak perlu dilakukan pemeriksaan secara
lengkap, dan jalan singkat untuk melakukan tes bisa dikerjakan sebagai berikut
:
1. Type-Specific, Partially Crossmatched
Blood
Bila kita menggunakan darah
“un-crossmatched”, maka paling sedikit harus diperoleh tipe ABO-Rh dan sebagian
“crossmatched”.
2. Tipe-Specific, Uncrossmatched Blood.
Untuk penggunaan tipe darah yang tepat maka
tipe ABO-Rh harus sudah ditentukan selama penderita dalam perjalanan ke rumah
sakit.
3. O Rh-Negatif (Universal donor)
Uncrossmatched Blood
Golongan darah O kekurangan antigen A dan B,
akibatnya tidak dapat dihemolisis baik oleh anti A ataupun anti B yang ada pada
resipien. Oleh sebab itu golongan darah O kita sebut sebagai donor universal
dan dapat digunakan pada situasi yang gawat bila tidak memungkinkan untuk
melakukan penggolongan darah atau “crossmatched”. Tetapi bagaimanapun juga
pemberian darah golongan inipun bukan tanpa resiko ( 1).
B. REAKSI TRANSFUSI NON HEMILITIK
1. Reaksi transfusi “febrile”
Tanda-tandanya adalah sebagai berikut :
Menggigil, panas, nyeri kepala, nyeri otot,
mual, batuk yang tidak produktif.
2. Reaksi alergi
a. “Anaphylactoid”
Keadaan ini terjadi bila terdapat protein
asing pada darah transfusi.
b. Urtikaria, paling sering terjadi dan
penderita merasa gatal-gatal. Biasanya muka penderita sembab.
Terapi yang perlu diberikan ialah
antihistamin, dan transfusi harus disetop.
Alergi yang berat jarang terjadi dan ini
kita sebut reaksi anafilaksis, dengan tanda-tanda sebagai berikut : sesak
nafas, hipotensi, edema larings, nyeri dada, dan shok. Reaksi anafilaksis ini
disebabkan karena transfusi IgA kepada penderita yang kekurangan IgA dan telah
terbentuk anti IgA. Tipe reaksi ini tidak termasuk tipe kerusakan sel darah
merah, kejadiannya sangat cepat dan biasanya terjadi sesudah mendapat transfusi
darah atau plasma hanya beberapa ml. Penderita yang menunjukkan tanda-tanda
reaksi anafilaksis bila perlu mendapat darah, harus diberi sel darah merah yang
telah dibersihkan dari semua sisa donor IgA, atau dengan darah yang sedikit
mengandung protein IgA (1).
II. REAKASI NON IMUNOLOGI
A. Reaksi transfusi “Pseudohemolytic”
Termasuk disini ialah lisis terhadap sel
darah merah tanpa reaksi antigen-antibodi. Hemolisis ini dapat terjadi akibat
obat, macam-macam keadaan penyakit, trauma mekanik, penggunaan cairan dextrosa
hipotonis, panas yang berlebihan dan kontaminasi bakteri.
B. Reaksi yang disebabkan oleh volume yang
berlebihan.
C. Reaksi karena darah transfusi
terkontaminasi
D. Virus hepatitis.
Risiko terkena hepatitis sesudah transfusi
merupakan keadaan klinik yang penting. Tes untuk HBV (Hepatitis B Virus),
penyaringan untuk Non-A dan Non-B juga bisa mengurangi risiko terkena transmisi
penyakit tersebut (5,8,9).
E. Lain-lain penyakit yang terlibat pada
terapi transfusi misalnya malaria, sifilis, virus CMG dan virus Epstein-Barr
parasit serta bakteri.
F. AIDS.
III. KOMPLIKASI YANG BERHUBUNGAN DENGAN TRANSFUSI
DARAH MASIF
1. “DILUTIONAL COAGULOPATHY”
Darah simpan yang diberikan secara masif
sering kekurangan faktor V dan VIII (1,2,8). Mutu atau derajat faktor V pada
darah simpan sampai 21 hari sekitar 30% atau lebih, sedangkan derajat yang
dibutuhkan untuk hemostasis antara 15-50%. Derajat faktor VIII pada darah
simpan 21 hari berkisar antara 15-50%.
Jadi terdapat sedikit dasar kebenarannya
untuk menyamakan penggunaan FFP pada transfusi masif. Kenyataannya darah simpan
kurang dari 10 hari masih bisa memberikan faktor koagulasi yang cukup pada
penderita.
Satu yang harus diingat ialah bahwa
penggunaan FFP yang berlebihan menambah transmisi penyakit pada penderita,
misalnya hepatitis dan AIDS (2).
Kecenderungan terjadinya perdarahan biasanya
sesudah penderita mendapat transfusi banyak dan cepat dengan menggunakan
campuran ACD. Ini terjadi bila kita memberikan darah 20-30 unit, dan untuk
penderita debil dan anak kecil lebih berkurang lagi (6). Manifestasi kliniknya
yaitu terdapatnya “oozing” pada daerah operasi, perdarahan pada gusi,
“petechiae” dan “echymosis”. Untuk mengatasi ini biasanya penderita mendapat
darah ACD lagi. Selama pemberian darah masif tetap dengan bahan-bahan yang
kekurangan faktor-faktor pembeku, maka selama itu pula perdarahan akan timbul,
dan demikian selanjutnya hingga merupakan lingkaran setan.
Etiologi kecenderungan perdarahan ini kemungkinan
adalah terjadinya “dilutional thrombocytopenia”, kekurangan faktor-faktor
labil, dan DIC (5).
Tujuan terapi disini ialah untuk
mempertahankan faktor-faktor V dan VIII mendekati 30%, sebab 20% faktor V dan
30% faktor VIII diperlukan untuk hemostasis penderita yang dioperasi (5). Untuk
mempertahankan faktor V dan VIII pada derajat 30% maka kepada penderita
diberikan 2-3 unit FFP (Fresh Frozen Plasma) untuk tiap 10 unit “packed cells”
dan transfusi “plasma protein fracyion” (1,6). Setiap pemberian 5 unit darah
perlu diperiksa jumlah platelet (6). Trombositopenia.
Pada penderita yang mendapat transfusi darah
10 unit atau lebih sering terjadi trombositopenia dan penderita perlu mendapat
platelet (6).
a. Perdarahan selama operasi sering terjadi
pada penderita dengan kadar platelet kurang dari 100.000/ cumm (4,6,8). Untuk
mempertahankan jumlah platelet antara 50.000-100.000/cumm, maka penderita
diberikan platelet konsentrat sebanyak 6-8 unit tiap pemberian 20 unit darah,
kalau tidak bisa, penderita dapat diberi darah segar yang umurnya kurang dari 6
jam.
b. Tiap unit platelet konsentrat menambah
jumlah platelet sebanyak 10-12 ribu/cumm pada penderita muda dengan berat badan
70 kg.
c. Darah segar dapat mempertahankan kadar
platelet pasca operasi di atas 90 ribu/cumm.
Perdarahan yang hebat akibat trombositopenia
pada transfusi masif mulai terjadi sesudah transfusi 10 unit darah atau lebih.
Jadi tidak rasional bila kita memberi darah lama pada penderita yang mendapat
transfusi sebanyak 10-15 unit.
2. DISSEMINATED INTRAVASCULAR COAGULATION
(DIC)
a. DIC sukar diidentifikasi pada penderita
yang mendapat transfusi masif. DIC merupakan kombinasi antara perdarahan dan
trombosis, suatu hal dua kejadian yang bertentangan. Untuk membantu keadaan
yang bertentangan ini, kecenderungan perdarahan diterapi dengan antikoagulan,
yaitu heparin. Pada jaringan hipoksia yang asidotik dengan bendungan aliran
darah, baik langsung ataupun lewat pelepasan beberapa toksin akan terjadi
pelepasan tromboplastin jaringan. Picu ini akan mempengaruhi proses koagulasi,
menghasilkan faktor I, II, VII, VIII dan platelet.
Seandainya trombus dan fibrin mengendap pada
mikrosirkulasi organ-organ vital, maka akan terganggu aliran darahnya.
Sesudah terjadi aktivasi sistem koagulasi
yang tidak normal maka trombus dan fibrin akan mengendap pada mikrosirkulasi
(5). Untuk mengatasikeadaan hiperkoagulasi, maka sistem fibrinolitik diaktifkan
sehingga melarutkan fibrin yang berlebihan. Keadaan ini disebut fibrinolisis
sekunder. Fibrinolisis primer dapat juga terjadi pada waktu transfusi masif
dengan tujuan untuk mengaktifkan sistem fibrinolitik tanpa terjadi DIC. Pada
fibrinolisis primer sejumlah besar plasmin atau aktivator fibrinolitik
dilepaskan, yang menyebabkan larutnya penjendalan dan fibrin (5).
Diagnosis didasarkan atas analisis
laboratorium terhadap faktor koagulasi, platelet, dan hasil fibrinolisis.
b. Tujuan utama terapi ialah untuk :
- menghilangkan penyebabnya
- mempertahankan volume normal
- mengganti faktor-faktor pembekuan yang
cukup, dengan demikian penderita dapat melanjutkan proses koagulasi.
Jangan memberikan terapi berlebih karena akan
menyebabkan pembekuan yang meluas.
Terapi adalah berupa :
- Fresh Frozen Plasma dan platelet
concentrate
- Heparin : Penggunaannya pada DIC masih
kontroversial tetapi dapat mencegah terjadinya mikrotrombi.
- EACA : Penggunaannya sangat jarang,
terutama pada fibrinolisis primer.
3. INTOKSIKASI SITRAT (KOMPLIKASI YANG
JARANG TERJADI)
Sitrat mengikat kalsium dengan akibat
terjadinya hipokalsemi, dan hipokalsemi ini jarang terjadi.
Pemberian kalsium sebaiknya dibatasi sampai
didapatkan bukti adanya depresi miokard dan pada EKG terdapat tanda-tanda
hipokalsemi, yaitu terjadinya pemanjangan interval QT (1,7).
Konsentrasi ionisasi kalsium serum akan
tetap normal bilamana kecepatan infus tidak lebih dari 30 ml/kg BB/jam (2,3).
Hipokalsemi dapat terjadi pada penderita
dengan penyakit hati berat atau syok, karena kemampuan memetabolisme natrium
sitrat berkurang (8).
4. KEADAAN ASAM BASA
Bila larutan ACD diberikan pada darah, maka
pH-nya akan menurun sampai 7.0, hal ini disebabkan terutama karena keasaman
larutan ACD. pH darah akan terus turun sampai kira-kira 6.5 sesudah sampai 21
hari disimpan, karena adanya glikolisis yang terus menerus dan pembentukan asam
laktat dan peruvat oleh metabolisme sel. Lagi pula karena botol atau kantong
plastik darah tidak memungkinkan terjadinya mekanisme pelepasan CO2, maka PaCO
akan naik dari 150 sampai 210 torr.
Howland dan Schweizer menganjurkan untuk
tiap 5 unit darah ACD yang ditransfusikan perlu diberikan 44.6 mEq natrium
bikarbonat (5,6). Keasaman darah ACD hanya mempengaruhi penderita yang dalam
keadaan syok atau penderita dengan respirasi tidak normal, atau adanya
kompensasi dari ginjal. Miler berkesimpulan bahwa pemberian natrium bikarbonat
secara empirik tidak perlu dan bukan merupakan indikasi, sehingga tidak logis
bila pemberian natrium bikarbonat digunakan sebagai profilaksi untuk penderita
yang tidak dapat kita perkirakan keasamannya. Tiap pemberian natrium bikarbonat
harus didasarkan atas hasil analisis gas darah dan ini bisa dikerjakan setiap
pemberian darah 5 unit (1,2,8).
Asidosis terjadi sebagai akibat hipoksia sel
darah merah selama penyimpanan. Sesudah transfusi ion hidrogen dikembalikan ke
sel darah merah atau sebagai buffer oleh plasma resipien (8).
5. HIPERKALEMI
Darah dari bank darah berisi ion K antara
17-24 mEq/L pada penyimpanan 21-33 hari (1). Hiperkalemia merupakan problem
yang jarang terjadi. Pada darah simpan akan terjadi pengurangan isi kalium pada
eritrosit dan kenaikkan dalam plasma.
6. HIPOTERMI
Transfusi masif yang menggunakan darah
dingin dapat meningkatkan pelepasan energi untuk menaikkan temperatur tubuh,
menaikkan pemakaian O2, afinitas hemoglobin dan O2, kebocoran ion K dari sel
darah merah dan kerusakan metabolisme sitrat.
Umumnya telah diketahui bahwa pemberian
beberapa unit darah dingin akan menurunkan temperatur resipien. Dengan cara
memanaskan darah dari bank darah sesuai dengan panas tubuh sebelum diberikan
pada penderita, maka secara bermakna akan mengurangi angka kejadian aritmi dan
“cardiac arrest” selama transfusi masif. Walaupun Bayan menekan bahwa pemanasan
darah hanya untuk transfusi masif, banyak yang percaya bahwa “whole blood” yang
diberikan beberapa unit juga perlu dipanaskan bila diberikan selama operasi.
Suatu penurunan temperatur pada esofagus
sebanyak 0.5 –1 C dapat mengakibatkan penderita menggigil sesudah operasi,
sehingga menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen dan “cardiac out put”.
Pemberian darah hangat sesuai dengan panas tubuh juga dapat menghindari
menurunnya kecepatan metabolisme sitrat sehingga dapat mengurangi intoksikasi
sitrat (6).
Transfusi dengan darah dingin sebanyak 5
unit dalam waktu 30 menit akan dapat menurunkan temperatur 4 C. pada 33 C,
hipotermi dapat menyebabkan asidosis metabolik dan depressi “cardiac out put”.
Perubahan posisi tubuh atau respirasi dapat menyebabkan “cardiac arrest”. Darah
harus dihangatkan terlebih dahulu sebelum diberikan pada penderita dengan
kecepatan tinggi dan dalam jumlah besar (8).
7. Post transfusion hepatitis (PTH)
Penemuan yang penting yaitu adanya
Australian Antigen (HAA) dan hubungannya yang positif dengan hepatitis serum
merupakan harapan baru untuk mengurangi PTH.
Kebanyakan darah yang diberikan adalah darah
yang dibeli dari setiap orang sehingga penularan hepatitis bisa saja terjadi.
Semua Palang Merah perlu mengetes dan
meniadakan donor positifnya HAA. Virus cytomegalo dapat menular lewat transfusi
darah dan merupakan salah satu bagian yang bertanggung jawab untuk terjadinya
PTH. Bila bukti-bukti tampak meyakinkan, dimana dapat dideteksi bahwa darah
mengandung virus tersebut, maka transfusi dengan darah tersebut harus
dihindari.
Cara lain untuk mengatasi PTH ialah dengan
memberikan modifikasi gamma globulin intravena sebelum pemberian darah (6).
DIAGNOSIS
DAN TERAPI PERDARAHAN
Keberhasilan pengobatan tergantung pada
kemampuan menentukan diagnosis penyebab problem perdarahan. Penderita yang
menerima transfusi masif dengan darah ACD akan mendapat berbagai kelainan hasil
laboratorium dan ini membuat kita mendapatkan kesukaran untuk menentukan
sebab-sebab yang jelas. Sebagai contoh trombositopeni mungkin merupakan akibat
“dilutional coagulopathy” yang akan terjadi selama transfusi masif, atau akibat
dari DIC, atau karena keduanya.
Perdarahan pada penderita dengan
trombositopenia mungkin disebabkan oleh “dilutional coagulopathy” dengan
fibrinolisis primer.
Untuk membedakan ini perlu dideteksi derajad
fibrinogen. Walaupun hal ini mudah dikerjakan dikebanyakan rumah sakit; namun
tidak dapat segera memberikan hasil, terutama pada malam hari. Untuk menghadapi
keadaan semacam ini, sesudah mendapatkan contoh darah untuk menentukan jumlah
platelet, derajat fibrinogen plasma, dan “partial thromboplastin time (PTT)”,
kemudian kita periksa bekuan darah dalam hal ukuran dan stabilitasnya. Bila PTT
naik secara tidak normal dan tes yang lain normal maka perdarahan mungkin
disebabkan oleh sangat rendahnya faktor V dan VIII, dan ini bisa diterapi
dengan FPP yang berisi semua faktor koagulasi kecuali platelet.
Bila bekuan darah pada “test tube” mengalami
lisis didalam waktu 1 atau 2 jam, maka terjadi fibrinolisis berlebihan. Untuk
menghambat pembentukan plasmin dan mengurangi fibrinolisis perlu pemberian
Epsilon-aminocaproic acid (EACA). Penderita yang mendapat transfusi dianjurkan
diberikan EACA. Tetapi bila fibrinolisis merupakan akibat sekunder, karena kita
ingin mencegah terjadinya trombosis yang luas pada DIC, pemberian EACA justru
akan memperberat DIC.
Karena tes untuk membedakan fibronolisis
primer atau sekunder biasa tidak siap pakai, maka EACA hanya diberikan setelah
heparinisasi dan setelah konsultasi dengan ahli-ahli yang bersangkutan.
Fibrinolisis biasanya terjadinya akibat sekunder DIC, setelah kita mengalami
keraguan yang lama dalam menetapkan pemberian EACA tanpa terlebih dahulu
memberikan heparin pada penderita.
Bila terdapat keadaan tiga serangkai, ialah
trombositopenia, hipofibrinogenemi, dan lisis suatu bekuan darah yang terjadi
dalam waktu 2 jam, maka dipikirkan terjadinya suatu DIC. Bahkan tanpa lisis
bekuan, fibrinogen (<100 mg/100 ml) yang bukan akibat “dilutional
coagulopathy” sudah dianggap sebagai DIC.
Heparin dapat cepat memperbaiki jumlah
platelet dan derajat fibrinogen serta dapat mengurangi perdarahan. Pemberian
heparin biasanya dimulai dengan dosis 30 unit/kg BB, dan diberikan intravena.
Penentuan yang kedua terhadap platelet dan
derajat fibrinogen dalam waktu 3 dan 4 jam mungkin merupakan suatu indikasi
pemberian heparin. Bila hasil-hasil pemeriksaan laboratorium kembali normal dan
intensitas perdarahan berkurang, pemberian heparin dapat disetop atau
dikurangi. Setelah pemberian heparin sering terjadi kehilangan faktor pembekuan
seperti platelet dan fibrinogen, sehingga perlu diganti dalam bentuk plasma,
konsentrat platelet, atau darah segar.
DIC yang baru saja terjadi dapat diterapi
tanpa heparin, yaitu dengan cara menghilangkan penyebab yang mempercepat
terjadinya DIC. Heparin perlu diberikan pada syok dan DIC yang berat dan lama.
Jadi heparin hanya dipertimbangkan sebagai terapi tambahan dan bukan terapi
yang mujarab untuk penderita syok hipovolemi yang membutuhkan transfusi masif.
Menurut “American Association of Blood
Banks” penderita hanya boleh mendapat komponen-komponen darah yang diperlukan.
Contoh : bila penderita hanya membutuhkan platelet maka sisa unit darah
lainnya, misalnya eritrosit, plasma dan albumin dapat disimpan untuk penderita
lain (5).
Darah segar (kurang dari 6 jam penyimpanan)
akan memberikan platelet paling banyak setiap donor. 90% platelet didapat dari
plasma yang merupakan setengah dari jumlah tiap unit darah. Konsentrat platelet
dapat disimpan dalam tempat sebesar 25 ml dan dapat memberikan 70-80% yang
terdapat pada setiap unit darah. Bila yang diperlukan hanya platelet dan bukan
lisis maka konsentrat platelet ini merupakan indikasi untuk diberikan pada
penderita. Bila penderita dengan hipovolemi juga memerlukan penggantian
eritrosit, albumin, beberapa faktor koagulasi dan platelet, maka secara praktis
ialah dengan memberikan darah segar. Platelet yang disimpan pada 4 C harus
dengan diberikan dalam waktu 6 jam setelah penyimpanan untuk dapat memberikan
kegunaan yang maksimal.
Pada transfusi sel darah merah diperlukan
kecocokan antara donor dan resipien. Kita menggunakan tipe dan saringan infus
tertentu, sebab makin meningkatnya jumlah operasi elektif yang biasanya tidak
menggunakan darah. Pada operasi-operasi elektif darah hanya digunakan pada
keadaan tertentu saja. Ini memberikan beberapa keuntungan, ialah :
1. Mengurangi jumalh sel darah setiap
harinya.
2. Mengurangi petugas Bank Darah.
3. Ongkos yang dibebankan pada penderita
menjadi lebih rendah.
Untuk memantau penderita dengan transfusi
masif diperlukan :
1. EKG untuk mengetahui perusahaan kalsium
dalam darah.
2. CVP dan kateter urine untuk mengetahui
keluarnya urine setiap jam.
3. Analisis gas darah untuk mengetahui PaO2,
PaCO2, pH. Ketiga hal tersebut perlu dipantau setiap pemberian 5 unit darah,
untuk menentukan secara tepat berapa natrium biakrbonat yang harus diberikan.
KESIMPULAN
I. Koagulasi
A. Pertimbangkan pemberian darah segar atau
konsentrat platelet setelah pemberian darah 10 unit.
B. Memeriksa jumlah platelet dan bekuan
untuk lisis sesudah tiap 5 unit darah ACD yang diberikan.
C. Bila mungkin memantau “partial
thromboplastin time” dan derajat fibrinogen plasma setiap 10 unit darah.
II. Pemberian darah sesegar mungkin, untuk
menghindari sisa-sisa darah yang lewat saringan, atau pertimbangkan penggunaan
filter yang adekuat.
III. Hangatkan darah sebelum ditransfusikan.
IV. Analisis gas darah untuk menentukan
PaO2, PaCO2, dan pH. Setiap pemberian 5 unit darah perlu dipantau ketiga hal di
atas untuk menentukan pemberian natrium bikarbonat secara tepat.
V. Memantau EKG terus-menerus untuk
mengetahui adanya perubahan kalium dan kalsium dalam darah, dan pengobatan
hanya bila ada indikasi.
VI. Pemasangan CVP dan kateter urine untuk
mengetahui jumlah urine yang keluar.
VII. Transfusi darah masif bisa juga terkena
hepatitis, AIDS dan malaria.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar