Antibiotik
untuk infeksi saluran kemih
Infeksi
saluran kemih merupakan infeksi yang menyerang pada saluran kemih baik bagian
atas (seperti pyelonephritis) maupun bawah (seperti cystitis atau urehtritis). Umumnya
infeksi disebabkan oleh bakteri gram Negatif E.coli, selain itu juga Proteus
dan Klebsiella. Melalui penyebaran ascending (seperti penggunaan
kateter), hematogen maupun limfogen. Penatalaksanaannya antara lain dengan
pemberian antibiotik untuk menghambat atau membunuh kuman penyebab infeksi.
Antibiotik
yang digunakan untuk mengatasi infeksi saluran kemih antara lain:
- Cotrimoxazole
- Fluoroquinolone
- Betalactam:
Penicillin dan Cephalosporin
- Aminoglycoside
Cotrimoxazole
Cotrimoxazole
merupakan antibiotik sulfonamide kombinasi dari sulfamethoxazole dan
trimethoprime. Antibiotik ini memiliki spektrum kerja yang luas, dan daya
antibakteri trimetophrim sekitar 20-100 kali lebih kuat dibandingkan
sulfamethoxazole. Mikroba yang peka terhadap kombinasi ini ialah: S.
pneumonia, C. diphteriae, N. meningitis, 50-95% strain S.aureus, S.
pyogenes, S. viridans, S. faecalis, E. coli, P. mirabilis, P. morganii, P.
rettgeri, Enterobacter, Aerobacter spesies, Salmonella, Shigella, Serratia dan
Alcaligenes spesies dan Klebsiella spesies. Di mana pada infeksi
saluran kemih yang paling banyak berperan adalah E. coli, Proteus dan
Klebsiella.
Mekanisme
kerja cotrimoxazole adalah dengan menghambat reaksi enzimatik pembentukan asam
tetrahidrofolat (lihat gambar di bawah).
-
Sulfonamid/sulfamethoxazole menghambat masuknya molekul PABA (p-amibobenzoic
acid) ke dalam molekul asam folat
-
Trimethoprim menghambat reaksi reduksi dari asam dihidrofolat menjadi asam
tetrahidrofolat
Tetrahidrofolat
tersebut penting untuk reaksi-reaksi pemindahan atom C, seperti pada sintesis
basa purin dan asam amino. Trimethoprim menghambat enzim dihidrofolat reduktase
secara selektif, mengingat enzim tersebut juga terdapat pada manusia.
Resistensi
terhadap cotrimoxazole lebih rendah dari pada terhadap masing-masing obat
penyusunnya. Resistensi terhadao bakteri Gram-negatif disebabkan oleh adanya
plasmid yang membawa sifat menghambat kerja obat terhadap enzim dihidrofolat
reduktase.
Secara
farmakokinetik, rasio yang ingin dicapai antara kadar sulfamethoxazole dan
trimethoprim dalam darah adalah 20:1. Karena Vd trimethoprim lebih besar
daripada sulfamethoxazole, maka pada pemberian peroral rasio sulfamethoxazole
dan trimethoprim adalah 5:1 (dengan harapan ketika mencapai darah rasionya menjadi
20:1). Trimethoprim cepat terdistribusi ke jaringan dan kira-kira 40% terikat
pada protein plasma dengan adanya sulfamethoxazole. Kira-kira 65%
sulfamethoxazole terikat pada protein plasma. Sampai 60% trimethoprim dan
25-50% sulfamethoxazole diekskresi melalui urin dalam 24 jam setelah pemberian.
Cotrimoxazole
digunakan untuk infeksi ringan saluran kemih bagian bawah. Dosis 160 mg
trimethoprim dan 800 mg sulfamethoxazole setiap 12 jam selama 10 hari
menyembuhkan sebagian besar pasien. Pemberian dosis tunggal (320 mg
trimethoprim dan 1600 mg sulfamethoxazole) selama 3 hari juga efektif untuk
pengobatan infeksi akut saluran kemih yang ringan, infeksi kronik dan berulang
pada saluran kemih.
Efek
samping dari cotrimoxazole antara lain: megaloblastosis, leukopenia,
trombositopenia (pada orang dengan defisiensi folat), dermatitis eksfoliatif,
sindroma Steven-Johnson, nekrolisis epidermal toksik (jarang), mual, muntah,
sakit kepala, dll.
Fluoroquinolone
Fluoroquinolone
merupakan antibiotik yang memiliki spektrum terutama untuk bakteri Gram negatif
(dayanya terhadap bakteri Gram positif relatif lemah). Walaupun dalam beberapa
tahun terakhir telah dikembangkan fluoroquinolone baru yang berdaya antibakteri
baik terhadap kuman Gram positif (S. pneumoniae dan S. aureus)
serta untuk kuman atipik penyebab infeksi saluran napas bagian bawah (Chlamydia
pneumoniae, Mycoplasma pneumoniae, Legionella). Yang termasuk ke
dalam golongan fluoroquinolone adalah ciprofloxacin, norfloxacin, levofloxacin,
ofloxacin, moxifloxacin, dll.
Fluoroquinolone
mempunyai daya antibakteri yang sangat kuat terhadap E. coli, Klebsiella,
Enterobacter, Proteus, H. influenzae, Providencia, Serratia, Salmonella, N.
meningitidis, N. gonorrhoeae, B. catarrhalis dan Yersinia enterocolitica.
Fluoroquinolone
merupakan antibiotik bakterisidal yang bekerja dengan menghambat enzim
topoisomerase II dan topoisomerase IV. Enzim topoisomerase II (= DNA gyrase)
berfungsi untuk merelaksasikan DNA bakteri yang mengalami positive
supercoiling, sedangkan topoisomerase IV berfungsi dalam pemisahan DNA
baru.
Resistensi
pada fluoroquinolone dapat terjadi melalui mekanisme berikut:
-
Mutasi pada gen gyr A yang menyebabkan enzim gyrase A (topoisomerase II) tidak
dapat diduduki oleh molekul obat
-
Perubahan pada permukaan sel kuman yang menghambat penetrasi obat
-
Peningkatan mekanisme pemompaan obat keluar (efflux)
Fluoroquinolone
terdistribusi dengan baik pada berbagai organ tubuh. Dalam urin, semua
fluoroquinolone mencapai kadar yang melampaui kadar hambat minimal untuk
kebanyakan kuman patogen selama minimal 12 jam. Waktu paruhnya relatif panjang
sehingga cukup diberikan dua kali sehari. Kebanyakan fluoroquinolone
dimetabolisme di hati dan diekskresikan melalui ginjal.
Fluoroquinolone
dapat digunakan untuk infeksi saluran kemih dengan/tanpa penyulit, termasuk
yang disebabkan oleh kuman-kuman yang multiresisten dan P. aeruginosa.
Efek
samping yang ditimbulkan oleh fluoroquinolone antara lain: mual, muntah, sakit
kepala, halusinasi, kejang, delirium (jarang), hepatotoksisitas (jarang),
kardiotoksisitas (penutupan kanal kalium menyebabkan aritmia ventrikel/torsades
de pointes) dll.
Absorpsi
fluoroquinolone dihambat oleh antasid dan preparat besi, oleh karena itu
pemberiannya harus berselang 3 jam. Selain itu fluoroquinolone juga tidak boleh
diberikan dengan teofilin dan obat-obat yang memperpanjang interval QTc. Obat
ini tidak diindikasikan untuk anak di bawah 18 tahun dan wanita hamil.
Betalactam:
Penicillin dan Cephalosporin
1.
Penicillin
Penicillin
merupakan antibiotik spektrum luas yang memiliki mekanisme kerja sebagai
berikut:
-
Penicillin bergabung dengan penicillin-binding protein (PBP) pada kuman
-
Terjadi hambatan sintesis dinding sel karena proses transpeptidase antra rantai
peptidoglikan terganggu
-
Aktivasi enzim proteolitik pada dinding sel
Terdapat
beberapa klasifikasi penicillin, yaitu penicillin alami (penicillin G),
aminopenicillin (amoxicillin dan ampicillin), penicillin anti stafilokokal
(dicloxacillin, flucloxacillin), penicillin anti pseudomonal (ticarcilin) dan
ureidopenicillin (piperacillin). Khusus untuk infeksi saluran kemih, yang
sering digunakan adalah amoxicillin dan ampicillin.
Absorpsi
ampicillin pada pemberian peroral dipengaruhi oleh dosis dan ada tidaknya
makanan. Adanya makanan akan menghambat absorpsi (hanya 40%). Sedankan absorpsi
amoxicillin di saluran cerna lebih baik dibanding ampicillin (75-90% karena
tidak dipengaruhi oleh makanan), dan mencapai kadar dalam darah 2 kali lebih
tinggi dibanding ampicillin. Kedua obat ini memiliki ikatan protein
17-20% dan waktu paruh 1 jam. Efek samping yang dapat timbul antara lain reaksi
alergik.
Adapun
mekanisme resistensi terhadap penicillin adalah sebagai berikutL:
-
Pembentukan enzim betalaktamase
-
Enzim autolisin kuman tidak bekerja
-
Kuman tidak mempunyai dinding sel (misalnya mikoplasma)
-
Perubahan PBP atau obat tidak dapat mencapai PBP
2.
Cephalosporin
Cephalosporin
merupakan antibiotik yang resisten terhadap penisilinase, tetapi dapat
dirusak oleh cephalosporinase. Obat ini menghambat sintesis dinding sel
mikroba, yaitu pada reaksi transpeptidase tahap ketiga dalam rangkaian reaksi
pembentukan dinding sel. Cephalosporin aktif terhadap kuman Gram positif dan negatif,
sesuai dengan derivat/generasinya:
-
Cephalosporin generasi 1 (cefazolin, cephradine), aktif terhadap kuman Gram
positif dan bakteri penghasil penisilinase
-
Cephalosporin generasi 2 (cefamandole, cefuroxime), aktif terhadap kuman
Gram negatif seperti H. influenzae, P mirabilis, E. coli dan
Klebsiella. Tidak efektif terhadap P. aeruginosa dan enterokokus.
-
Cephalosporin generasi 3 (cefotaxime, ceftriaxone), kurang aktif terhadap kuman
Gram positif dibanding generasi pertama, tetapi jauh lebih aktif terhadap Enterobacteriaceae
dan P. aeruginosa
-
Cephalosporin generasi 4 (cefepime), mempunyai spektrum lebih luas dibanding
generasi 3, dan lebih stabil terhadap kuman penghasil betalaktamase.
Untuk
infeksi saluran kemih, semua generasi Cephalosporin di atas dapat digunakan,
namun generasi 1 memiliki aktivitas yang lebih terbatas. Efek samping yang
dapat timbul dari pemberian Cephalosporin antara lain: hipersensitifitas,
nefrotoksisitas, dll.
Aminoglycoside
Aminoglycoside
merupakan antobiotik dengan aktivitas yang terutama tertuju pada basil
Gram-negatif seperti P. aeruginosa, Klebsiella, Proteus dan E. coli.
Aminoglycoside bekerja dengan berikatan pada ribosom 30S sehingga menghambat
sintesis protein (menyebabkan salah baca-misreading). Antibiotik ini
bersifat bakterisidal. Berbagai derivat aminoglycoside adalah streptomisin,
neomisin, kanamisin, paromomisin, gentamisin, tobramisin, amikasin, dll.
Obat
ini sangat polar sehingga sukar diabsorpsi melalui saluran cerna. Oleh karena
itu pemberiannya kebanyakan secara parenteral. Pada pemberian parenteral (IM),
kadar puncak dicapai dalam waktu ½ sampai 2 jam dan diekskresikan melalui
ginjal terutama dengan filtrasi glomerulus.
Pada
infeksi saluran kemih, yang sering digunakan adalah gentamisin, netilmisin,
tobramisin dan amikasin.
Adapun
mekanisme terbentuknya resistensi antara lain:
-
Kegagalan penetrasi obat ke dalam kuman
-
Rendahnya afinitas obat pada ribosom
-
Inaktivasi obat oleh enzim kuman (fosforilase, adenilase, asetilase) yang dapat
ditansferkan melalui plasmid
Efek
samping dari pemberian aminoglycoside adalah: ototoksisitas, nefrotoksisitas,
dan paralisis respiratorik (jarang)
Referensi:
- Syarif A
et.al. Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Jakarta: Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar