snow rain

Senin, 30 April 2012

pencegahan / pengobatan, antibiotik untuk Infeksi saluran kemih

Antibiotik untuk infeksi saluran kemih
Infeksi saluran kemih merupakan infeksi yang menyerang pada saluran kemih baik bagian atas (seperti pyelonephritis) maupun bawah (seperti cystitis atau urehtritis). Umumnya infeksi disebabkan oleh bakteri gram Negatif E.coli, selain itu juga Proteus dan Klebsiella. Melalui penyebaran ascending (seperti penggunaan kateter), hematogen maupun limfogen. Penatalaksanaannya antara lain dengan pemberian antibiotik untuk menghambat atau membunuh kuman penyebab infeksi.
Antibiotik  yang digunakan untuk mengatasi infeksi saluran kemih antara lain:
  1. Cotrimoxazole
  2. Fluoroquinolone
  3. Betalactam: Penicillin dan Cephalosporin
  4. Aminoglycoside
Cotrimoxazole
Cotrimoxazole merupakan antibiotik sulfonamide kombinasi dari sulfamethoxazole dan trimethoprime. Antibiotik ini memiliki spektrum kerja yang luas, dan daya antibakteri trimetophrim sekitar 20-100 kali lebih kuat dibandingkan sulfamethoxazole. Mikroba yang peka terhadap kombinasi ini ialah: S. pneumonia, C. diphteriae, N. meningitis, 50-95% strain S.aureus, S. pyogenes, S. viridans, S. faecalis, E. coli, P. mirabilis, P. morganii, P. rettgeri, Enterobacter, Aerobacter spesies, Salmonella, Shigella, Serratia dan Alcaligenes spesies dan Klebsiella spesies. Di mana pada infeksi saluran kemih yang paling banyak berperan adalah E. coli, Proteus dan Klebsiella.
Mekanisme kerja cotrimoxazole adalah dengan menghambat reaksi enzimatik pembentukan asam tetrahidrofolat (lihat gambar di bawah).
-         Sulfonamid/sulfamethoxazole menghambat masuknya molekul PABA (p-amibobenzoic acid) ke dalam molekul asam folat
-         Trimethoprim menghambat reaksi reduksi dari asam dihidrofolat menjadi asam tetrahidrofolat
Tetrahidrofolat tersebut penting untuk reaksi-reaksi pemindahan atom C, seperti pada sintesis basa purin dan asam amino. Trimethoprim menghambat enzim dihidrofolat reduktase secara selektif, mengingat enzim tersebut juga terdapat pada manusia.
Resistensi terhadap cotrimoxazole lebih rendah dari pada terhadap masing-masing obat penyusunnya. Resistensi terhadao bakteri Gram-negatif disebabkan oleh adanya plasmid yang membawa sifat menghambat kerja obat terhadap enzim dihidrofolat reduktase.
Secara farmakokinetik, rasio yang ingin dicapai antara kadar sulfamethoxazole dan trimethoprim dalam darah adalah 20:1. Karena Vd trimethoprim lebih besar daripada sulfamethoxazole, maka pada pemberian peroral rasio sulfamethoxazole dan trimethoprim adalah 5:1 (dengan harapan ketika mencapai darah rasionya menjadi 20:1). Trimethoprim cepat terdistribusi ke jaringan dan kira-kira 40% terikat pada protein plasma dengan adanya sulfamethoxazole. Kira-kira 65% sulfamethoxazole terikat pada protein plasma. Sampai 60% trimethoprim dan 25-50% sulfamethoxazole diekskresi melalui urin dalam 24 jam setelah pemberian.
Cotrimoxazole digunakan untuk infeksi ringan saluran kemih bagian bawah. Dosis 160 mg trimethoprim dan 800 mg sulfamethoxazole setiap 12 jam selama 10 hari menyembuhkan sebagian besar pasien. Pemberian dosis tunggal (320 mg trimethoprim dan 1600 mg sulfamethoxazole) selama 3 hari juga efektif untuk pengobatan infeksi akut saluran kemih yang ringan, infeksi kronik dan berulang pada saluran kemih.
Efek samping dari cotrimoxazole antara lain: megaloblastosis, leukopenia, trombositopenia (pada orang dengan defisiensi folat), dermatitis eksfoliatif, sindroma Steven-Johnson, nekrolisis epidermal toksik (jarang), mual, muntah, sakit kepala, dll.
Fluoroquinolone
Fluoroquinolone merupakan antibiotik yang memiliki spektrum terutama untuk bakteri Gram negatif (dayanya terhadap bakteri Gram positif relatif lemah). Walaupun dalam beberapa tahun terakhir telah dikembangkan fluoroquinolone baru yang berdaya antibakteri baik terhadap kuman Gram positif (S. pneumoniae dan S. aureus) serta untuk kuman atipik penyebab infeksi saluran napas bagian bawah (Chlamydia pneumoniae, Mycoplasma pneumoniae, Legionella). Yang termasuk ke dalam golongan fluoroquinolone adalah ciprofloxacin, norfloxacin, levofloxacin, ofloxacin, moxifloxacin, dll.
Fluoroquinolone mempunyai daya antibakteri yang sangat kuat terhadap E. coli, Klebsiella, Enterobacter, Proteus, H. influenzae, Providencia, Serratia, Salmonella, N. meningitidis, N. gonorrhoeae, B. catarrhalis dan Yersinia enterocolitica.
Fluoroquinolone merupakan antibiotik bakterisidal yang bekerja dengan menghambat enzim topoisomerase II dan topoisomerase IV. Enzim topoisomerase II (= DNA gyrase) berfungsi untuk merelaksasikan DNA bakteri yang mengalami positive supercoiling, sedangkan topoisomerase IV berfungsi dalam pemisahan DNA baru.
Resistensi pada fluoroquinolone dapat terjadi melalui mekanisme berikut:
-          Mutasi pada gen gyr A yang menyebabkan enzim gyrase A (topoisomerase II) tidak dapat diduduki oleh molekul obat
-          Perubahan pada permukaan sel kuman yang menghambat penetrasi obat
-          Peningkatan mekanisme pemompaan obat keluar (efflux)
Fluoroquinolone terdistribusi dengan baik pada berbagai organ tubuh. Dalam urin, semua fluoroquinolone mencapai kadar yang melampaui kadar hambat minimal untuk kebanyakan kuman patogen selama minimal 12 jam. Waktu paruhnya relatif panjang sehingga cukup diberikan dua kali sehari. Kebanyakan fluoroquinolone dimetabolisme di hati dan diekskresikan melalui ginjal.
Fluoroquinolone dapat digunakan untuk infeksi saluran kemih dengan/tanpa penyulit, termasuk yang disebabkan oleh kuman-kuman yang multiresisten dan P. aeruginosa.
Efek samping yang ditimbulkan oleh fluoroquinolone antara lain: mual, muntah, sakit kepala, halusinasi, kejang, delirium (jarang), hepatotoksisitas (jarang), kardiotoksisitas (penutupan kanal kalium menyebabkan aritmia ventrikel/torsades de pointes) dll.
Absorpsi fluoroquinolone dihambat oleh antasid dan preparat besi, oleh karena itu pemberiannya harus berselang 3 jam. Selain itu fluoroquinolone juga tidak boleh diberikan dengan teofilin dan obat-obat yang memperpanjang interval QTc. Obat ini tidak diindikasikan untuk anak di bawah 18 tahun dan wanita hamil.
Betalactam: Penicillin dan Cephalosporin
1. Penicillin
Penicillin merupakan antibiotik spektrum luas yang memiliki mekanisme kerja sebagai berikut:
-          Penicillin bergabung dengan penicillin-binding protein (PBP) pada kuman
-          Terjadi hambatan sintesis dinding sel karena proses transpeptidase antra rantai peptidoglikan terganggu
-          Aktivasi enzim proteolitik pada dinding sel
Terdapat beberapa klasifikasi penicillin, yaitu penicillin alami (penicillin G), aminopenicillin (amoxicillin dan ampicillin), penicillin anti stafilokokal (dicloxacillin, flucloxacillin), penicillin anti pseudomonal (ticarcilin) dan ureidopenicillin (piperacillin). Khusus untuk infeksi saluran kemih, yang sering digunakan adalah amoxicillin dan ampicillin.
Absorpsi ampicillin pada pemberian peroral dipengaruhi oleh dosis dan ada tidaknya makanan. Adanya makanan akan menghambat absorpsi (hanya 40%). Sedankan absorpsi amoxicillin di saluran cerna lebih baik dibanding ampicillin (75-90% karena tidak dipengaruhi oleh makanan), dan mencapai kadar dalam darah 2 kali lebih tinggi dibanding ampicillin. Kedua obat ini memiliki ikatan protein  17-20% dan waktu paruh 1 jam. Efek samping yang dapat timbul antara lain reaksi alergik.
Adapun mekanisme resistensi terhadap penicillin adalah sebagai berikutL:
-          Pembentukan enzim betalaktamase
-          Enzim autolisin kuman tidak bekerja
-          Kuman tidak mempunyai dinding sel (misalnya mikoplasma)
-          Perubahan PBP atau obat tidak dapat mencapai PBP
2. Cephalosporin
Cephalosporin merupakan antibiotik yang  resisten terhadap penisilinase, tetapi dapat dirusak oleh cephalosporinase. Obat ini menghambat sintesis dinding sel mikroba, yaitu pada reaksi transpeptidase tahap ketiga dalam rangkaian reaksi pembentukan dinding sel. Cephalosporin aktif terhadap kuman Gram positif dan negatif, sesuai dengan derivat/generasinya:
-          Cephalosporin generasi 1 (cefazolin, cephradine), aktif terhadap kuman Gram positif dan bakteri penghasil penisilinase
-          Cephalosporin generasi 2  (cefamandole, cefuroxime), aktif terhadap kuman Gram negatif seperti H. influenzae, P mirabilis, E. coli dan Klebsiella. Tidak efektif terhadap P. aeruginosa dan enterokokus.
-          Cephalosporin generasi 3 (cefotaxime, ceftriaxone), kurang aktif terhadap kuman Gram positif dibanding generasi pertama, tetapi jauh lebih aktif terhadap Enterobacteriaceae dan P. aeruginosa
-          Cephalosporin generasi 4 (cefepime), mempunyai spektrum lebih luas dibanding generasi 3, dan lebih stabil terhadap kuman penghasil betalaktamase.
Untuk infeksi saluran kemih, semua generasi Cephalosporin di atas dapat digunakan, namun generasi 1 memiliki aktivitas yang lebih terbatas. Efek samping yang dapat timbul dari pemberian Cephalosporin antara lain: hipersensitifitas, nefrotoksisitas, dll.
Aminoglycoside
Aminoglycoside merupakan antobiotik dengan aktivitas yang terutama tertuju pada basil Gram-negatif seperti P. aeruginosa, Klebsiella, Proteus dan E. coli. Aminoglycoside bekerja dengan berikatan pada ribosom 30S sehingga menghambat sintesis protein (menyebabkan salah baca-misreading). Antibiotik ini bersifat bakterisidal. Berbagai derivat aminoglycoside adalah streptomisin, neomisin, kanamisin, paromomisin, gentamisin, tobramisin, amikasin, dll.
Obat ini sangat polar sehingga sukar diabsorpsi melalui saluran cerna. Oleh karena itu pemberiannya kebanyakan secara parenteral. Pada pemberian parenteral (IM), kadar puncak dicapai dalam waktu ½ sampai 2 jam dan diekskresikan melalui ginjal terutama dengan filtrasi glomerulus.
Pada infeksi saluran kemih, yang sering digunakan adalah gentamisin, netilmisin, tobramisin dan amikasin.
Adapun mekanisme terbentuknya resistensi antara lain:
-          Kegagalan penetrasi obat ke dalam kuman
-          Rendahnya afinitas obat pada ribosom
-          Inaktivasi obat oleh enzim kuman (fosforilase, adenilase, asetilase) yang dapat ditansferkan melalui plasmid
Efek samping dari pemberian aminoglycoside adalah: ototoksisitas, nefrotoksisitas, dan paralisis respiratorik (jarang)
Referensi:
  1. Syarif A et.al. Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar